CARI

email

email: indradwicahyono@yahoo.com

Rabu, 29 Juni 2011

WETLAND TECHNOLOGY FOR DOMESTIC WASTE WATER MANAGEMENT


THE WETLAND TECHNOLOGY
MERUPAKAN  OPSI PENGOLAHAN AIR LIMBAH DOMISTIK
PERKOTAAN DALAM MENCIPTAKAN KOTA SEHAT DAN BERKELANJUTAN


A. Latar Belakang masalah.

Kota-kota besar di Indonesia, pada umumnya memiliki masalah tipikal, berupa tekanan kependudukan yang disebabkan oleh laju urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota itu sendiri. Permasalahan tipikal ini kemudian berimplikasi terhadap kondisi sanitasi perkotaan yang tidak memadahi baik kualitas maupun kuantitas, dan secara tidak terhindarkan, membawa dampak berupa penurunan kualitas lingkungan perkotaan dan menurunnya kesejahteraan masyarakat kota. Kondisi tersebut diindikasikasikan dengan semakin tingginya pencemaran udara, tanah, dan air serta air tanah yang merupakan dampak langsung dari kegiatan; permukiman (domistik), industrialisasi dan transportasi. Terkait pencemaran lingkungan perkotaan utamanya pencemaran air, tanah dan air tanah, maka timbulan pencemaran dari domistik ini mempunyai andil yang siknifikan terjadinya penurunan kualitas lingkungan perkotaan.
Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari pembuangan daerah domestic, biasanya berupa tinja atau kemih (Black Water), air buangan dapur dan kamar mandi (grey water). Karakteristik air limbah domistik di Indonesia umumnya mengandung berbagai substrat antara lain: TS (Total Solids) 350–1200 mg/l, TDS (Total Dissolved Solid) 200–850 mg/l, TSS 100–350 mg/l, BOD (Biological Oxygen Demand) 40 – 400 mg/l, COD 250 -1000 mg/l, Nitrogen total 20–85 mg/l, Phospor total 4–15 mg/l, dan lemak 50–150 mg/l. (Dhokkikah, 2006).

Efek yang dapat ditimbulkan akibat membuang limbah domestik secara langsung ke lingkungan, saluran drainase kota dan badan air tanpa adanya pengolahan terlebih dahulu yaitu: gangguan terhadap kesehatan, gangguan terhadap biota perairan dan gangguan estetika serta menimbulkan in-efisiensi biaya hidup (High Cost).

Pada negara-negara berkembang termasuk juga Indonesia, tingginya pencemaran lingkungan yang bersumber dari domistik ini dikarenakan beberapa hal, antara lain: sempitnya lahan perumahan sehingga tidak ada space/ ruang (lahan) untuk membangun unit pengolah air limbah yang pada umumnya memerlukan lahan yang luas; masalah ekonomi yang rendah sehingga terkendala keterbatasa biaya dan kondisi sarana sanitasi yang kurang memadahi serta kebiasaan masyarakat yang kurang mendukung perilaku hidup bersih dan sehat.

Kendala-kendala di atas itulah yang menyebabkan bahwa pembangunan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) domestik menjadi permasalahan tersendiri. Dalam rangka meningkatan kualitas lingkungan dan meminimasi pencemar yang bersumber dari domistik (perumahan/ permukiman), diperlukan environmental service programs, yang satu diantaranya adalah pemilihan dan penerapan teknologi baru pengolahan air limbah domestik perkotaan yang ‘simple and apropriate’ untuk masyarakat yakni: sederhana, mudah dan murah serta terjangkau dalam sistem pengoperasian dan perawatannya.

Salah satu teknologi tepat guna yang mampu mengolah air limbah domestik adalah The Wetland Technology for Domistic Waste Water Treatment atau sistem tanah basah /lahan basah/ rawa buatan dengan memanfaatkan tanaman / vegetasi. Sistem ini telah banyak digunakan di banyak negara, seperti : Amerika, Kanada, Australia, Jerman, Belanda, Inggris, Cina, India dan beberapa negara Asia. Namun di Indonesia, belum begitu populer perkembangannya, karena kajian-kajian dan publikasi mengenai kemampuan tumbuhan air / vegetasinya tersebut masih kurang.

Sistem wetland Technology, memanfaatkan sinar matahari dan tanaman yang berfungsi memfilter bahan pencemar dengan bantuan mikroorganisme yang tumbuh di perakaran tanpa menambahkan bahan-bahan kimia dan prosesnya berjalan alami. Menurut beberapa penelitian tanaman Cattail (Typha angustifolia) dapat menurunkan konsentrasi COD sebesar 50%-93% Mukhlis 2003). Dan tanaman Kana (Canna sp) mampu menurunkan COD dan BOD sebesar 90 %, TSS sebesar 90% (Mayangriani, 2005). Sedangkan tanaman Papirus (Cyperus papyrus) mempunyai efisiensi penurunan N sebesar 91,24 %, dan efisiensi penurunan sebesar TS sebesar 64,56 % (Tangahu, 2005).
B. DEFINISI  dan Kharakteristik Air Limbah Domestik
1. Definisi Air Limbah Domestik.
Air limbah domestik adalah air buangan manusia yang berasal dari perumahan, daerah komersial, institusi dan fasilitas sejenis (Metcalf dan Eddy, 1991). Menurut Mara D. dalam Mukhlis, 2003 air limbah domestik didefinisikan sebagai air buangan tubuh manusia yang berupa tinja atau kemih (black water) serta buangan dapur dan kamar mandi (grey water). Air limbah yang masih baru berupa cairan keruh berwarna abu-abu dan berbau tanah, tetapi tidak terlalu merangsang. Bahan ini mengandung padatan berukuran besar yang terapung atau tersuspensi (misal tinja, jerami dan lain-lain), padatan tersuspensi yang lebih kecil (misal irisan sayuran), serta polutan dalam bentuk larutan sejati. Bahan ini tidak sedap dipandang dan sangat berbahaya, terutama karena jumlah mikroorganisme pathogen yang dikandungnya (Mukhlis, 2003).
2. Kharakteristik Air Limbah Domistik
Air limbah domestik terdiri dari komponen–komponen fisik, kimia dan biologi. Beberapa kontaminan penting yang terdapat dalam air limbah yaitu (Metcalf dan Eddy, 1991) :

  • Padatan tersuspensi, substansi zat ini dapat menstimulasi pembentukan deposit lumpur dan kondisi anaerobik pada badan air.
  • Bahan organik biodegradable meliputi senyawa protein, karbohidrat dan lemak. Bahan organik yang tinggi dalam air dapat menurunkan kandungan oksigen didalamnya.
  • Nutrien, keberadaan nutrien menyebabkan terjadinya eutrofikasi dalam badan air dan dapat menyebabkan polusi air tanah.
  • Bahan organik non-biodegradable (zat oaganik yang sulit terurai)  adalah bahan yang terutama disintesis secara buatan dan bertahan lama di alam karena sulit didegradasi, meliputi surfaktan, phenol dan pestisida.
  • Mikroorganisme pathogen.
  • Bahan inorganik terlarut, misalnya kalsium, natrium dan sulfat.
  • Priority pollutant, yaitu senyawa organik dan inorganik yang bersifat karsinogenik, mutagenik dan teragenik serta toksik akut.
C. Opsi/ Pemilihan teknologi Pengolahan Air Limbah Domestik
Prosedur untuk memperhitungkan faktor-faktor ekonomi dan lingkungan secara sistimatik telah dikembangkan. Hal ini berkisar dari satu cara dan proses pengambilan keputusan dalam memilih dan menetapkan berbagai alternatif teknologi pengolahan air limbah domestik pada Negara-negara berkembang baik di daerah perkotaan (urban area) ataupun di daerah pedesaan (rural area)
Tujuan program opsi ini  adalah untuk mempermudah / membantu para pengambil keputusan, penanggung jawab proyek / kegiatan dan juga perorangan dalam mengidentifikasi beberapa alternatif yang menguntungkan dan mengevaluasi kemampuan dari alternatif tersebut dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Tiga pertanyaan yang berusaha dijawab oleh Stakeholder/ penanggung jawab dan pelaksana program adalah: (1) Teknologi apa /sanitasi mana yang relevan untuk daerah pedesaan dan perkotaan dinegara berkembang?; (2) Kriteria mana yang relevan untuk mengevaluasi ketepatan teknologi tersebut?; (3) Bagaimana kriteria ini dapat diterapkan untuk membantu proses pengambilan keputusan yang dapat diaplikasikan oleh para pengambil keputusan kedalam proyek – proyek yang nyata?
Untuk itu beberapa kriteria pilihan teknologi pengolahan air limbah domestik perlu ditetapkan, yang meliputi (1) Kersedianya lahan ; (2) Biaya material dan tenaga kerja; (3) Penggunaan lahan dan (4) Skala ekonomi
D. THE WETLAND TECHNOLOGY SYSTEM
1. Definisi The Wetland Tecknology 
Definisi wetland sangat beragam tapi pada dasarnya wetland adalah area yang setidaknya tergenangi air secara intermiten (Campbell and Ogden, 1999 dalam Rizka, 2005). Sedangkan menurut Metcalf dan Eddy, wetland adalah suatu lahan yang jenuh air dengan kedalaman air tipikal yang kurang dari 0,6 m yang mendukung pertumbuhan tanaman air emergent, misalnya Cattail, Bulrush, Reeds dan Sedges (Carex, sp). 
Wetland dibedakan menjadi dua yaitu The natural wetland dan The constructed wetland (yang selanjutnya disebut  wetland ). The natural wetland adalah area yang sudah ada secara alami dengan debit dan struktur yang tidak direncanakan, misalnya rawa–rawa pesisir pantai atau mangroove wetland. Natural wetland banyak ditumbuhi oleh vegetasi emergent, misalnya Cattail (Thypa sp), Reed (Phragmites sp), Sedges (Carex sp), Bulrushes (Scirpus sp), rushes (Juncus sp) dan spesies tanaman rumput–rumputan yang lain.
The Wetland atau disebut wetland  buatan yang dikelola dan dikontrol oleh manusia untuk keperluan filtrasi air buangan dengan penggunaan tanaman, aktivitas mikroba dan proses lainnya (Hesket dan Bartholomew dalam Pancawardhani, 2004). Menurut Hammer (1998) Wetland adalah pengolahan limbah secara alami yang terdiri dari tiga faktor utama, yaitu : (1) Area yang digenangi air dan mendukung hidupnya aquatic plant jenis Hydrophita, (2) Media tumbuh berupa tanah yang selalu digenangi air, (3) Media jenuh air.
Sistem wetland dikonstruksikan sedemikian rupa seperti aslinya dimana didalamnya diisi dengan batuan, tanah dan zat organik untuk mendukung tanaman-tanaman emergent. Variabel dalam wetland yang strukturnya direncanakan adalah (Yuanita, 2003) : (1 ) Debit yang mengalir; (2) Bahan organik tertentu; (3) Kedalaman media tanah; (4) Pemeliharaan tanaman selama proses pengolahan

a. Tipe-Tipe Wetland
          Menurut Novotny dan Olem, 1994 yang dikutip oleh Widyastuti, 2005, wetland dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu :  
a.1. Wetland  dengan aliran diatas permukaan tanah (Free Water Surface System)
Free Water Surface (FWS) System biasanya berupa kolam atau saluran-saluran yang dilapisi lapisan impermeable di bawah saluran atau kolam yang berfungsi untuk mencegah merembesnya air keluar kolam atau saluran. Kemudian kolam tersebut terisi tanah sebagai tempat hidup tanaman yang hidup
a.2. Wetland dengan aliran dibawah permukaan tanah (Sub-surface Flow System)
Pada Sub-surface Flow (SSF) system, pengolahan limbah terjadi ketika air mengalir secara perlahan melalui tanaman yang ditanam pada media berpori, misalnya gravel, kerikil dan tanah. Dalam sistem ini tanaman melalui akar rhizoma yang mentransfer oksigen kedalam media subsurface dan menciptakan kondisi aerobik (Robert, et all). Proses pengolahan air limbah terjadi melalui proses filtrasi, absorbsi oleh mikroorganisme dan adsorbsi polutan oleh tanah. Removel bahan organik pada sistem SSF dibatasi oleh dua faktor yaitu waktu tinggal dan transfer O2 (Crites, 1998 dalam Yuanita, 2000)
 Kedua sistem diatas merupakan reaktor biologis attached growth dan berfungsi sebagaimana trickling filter dan biological contractors. Kemampuan sistem sangat dipengaruhi oleh waktu detensi air limbah dalam reaktor serta beban limbah yang masuk, kondisi biota dan keterbatasan oksigen dalam sistem. 
(Anonymous, 2006) Sub-surface Flow (SSF) mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan Free Water Surface (FWS) karena sistem SFS ditutup dengan pasir atau tanah, sehingga tidak ada resiko langsung terhadap potensi timbulnya nyamuk itu karena air limbah mengalir dibawah permukaan media serta  sistem ini mampu memberikan transfer oksigen yang lebih banyak daripada sistem FWS. Pengaliran air limbah dibawah media juga memberikan proteksi thermal yang lebih baik pada suhu dingin. Dengan input yang sama lahan yang dibutuhkan untuk sistem SSF lebih kecil daripada FWS. 
Untuk mengatasi kemungkinan clogging pada SSF dapat dilakukan dengan mengatur media pada bagian inlet digunakan dengan diameter besar. Media dengan diameter besar mempunyai konduktivitas hidraulik besar dan mampu mengurangi terjadinya clogging di bagian awal reaktor. Setelah zona inlet yang berdiameter besar digunakan media dengan diameter kecil. Media dengan diameter kecil memberi manfaat berupa tersedianya area permukaan yang lebih banyak yang dapat digunakan untuk membantu pengolahan. Rongga udara yang lebih kecil lebih kompatibel bagi vegetasi akar dan rhizoma. Selain itu dengan diameter yang lebih kecil konduktivitas hidrauliknya lebih rendah dan kondisi aliran lebih mendekati linier. 
b.    Keuntungan dan Kerugian Dalam Penggunaan Sistem Wetland 
Penerapan teknologi wetland dapat digunakan sebagai alternatif pengolahan limbah, baik domestik maupun industri. Beberapa keuntungan dari penerapan sistem wetland ini antara lain : 1) Kebutuhan luas lahan sangat relatif (tergantung kebutuhan).
2) Biaya pengolahan dan perawatan lebih murah. Menurut Mangkoediharjo dalam Kurniawan (2005), sistem pengolahan biologis dengan tumbuhan dapat menghemat biaya operasional hingga 50% proses mekanis. Hal ini dikarenakan tumbuhan dapat tetap berkembang tanpa biaya.
3) Tidak memerlukan tenaga ahli untuk operasional dan pemeliharaannya karena teknologinya sederhana dan sangat sesuai untuk area yang natural.
4) Mampu mengolah air limbah domestik dan industri dengan baik ditunjukkan dengan efisiensi pengolahan yang tinggi yaitu lebih dari 80% (Tangahu, 2001 dalam Rizka, 2005).
5) Sistem manajemen kontrol mudah.
6) Merupakan teknologi ramah lingkungan.
7) Biaya konstruksi murah (Anonim, 2006 http://www.techno-preneur.net) 
8) Dapat memberikan manfaat ganda karena dapat berfungsi sebagai media hidup hewan dan makhluk hidup lain.
9) Cocok dikembangkan di pemukiman kecil, dimana harga tanah lebih murah dan air limbah berasal dari rumah tangga

Sedangkan kelemahan sistem Wetland  antara lain :
1) Pengoperasian sistem ini tergantung pada kondisi lingkungan termasuk iklim dan suhu. Pengolahan kurang optimal untuk daerah dengan suhu rendah.
2) Berpotensi menimbulkan bau seperti hasil dari proses dekomposisi tanaman.
3) Dapat terjadi sarang nyamuk jika terjadi genangan air.
4) Kemungkinan berpindahnya bahan pencemar ke biomassa yang dikonsumsi manusia.
5) Kriteria desain dan operasi masih belum jelas untuk saat ini.
6) Kompleksitas biologis dan hidrolis, serta masih kurangnya kemampuan untuk memahami proses yang terjadi dalam pengolahan.

2.     Proses-Proses Pengolahan Dalam Sistem Wetland
Proses pengolahan air limbah domestik pada sistem wetland berlangsung melalui proses fisika, kimia dan biologi yang disebabkan oleh adanya interaksi antara mikroorganisme, tanaman dan substrat (Haberl et. Al, 1996 dalam Mukhlis, 2005). Proses ini terjadi selama air limbah domestik mengalir melalui substrat, dimana bahan organik diuraikan secara biologis baik secara aerobik maupun anaerobik.
Prinsip dasar sistem wetlands untuk pengolahan air limbah domestik adalah pada proses respirasi tumbuhan air. Tumbuhan air ini mampu menghisap oksigen dari udara melalui daun, batang, akar dan rhizomanya yang kemudian dilepaskan kembali pada daerah sekitar perakaran (rhizosphere). Hal ini dimungkinkan karena jenis tumbuhan air ini mempunyai ruang antar sel atau lubang saluran udara (aerenchyma) sebagai alat transportasi oksigen dari atmosfer ke bagian perakaran. Kelebihan lain dari tumbuhan air adalah dapat bertahan hidup pada kondisi anaerobik (tanpa oksigen). Daerah rhizosphere yang bersifat aerob memungkinkan aktivitas berbagai bakteri pengurai bahan organik pencemar (nitrogen dan fosfor) meningkat. Proses penguraian amonia menjadi nitrat (nitrifikasi) juga meningkat. Proses ini terjadi terus-menerus tanpa berhenti.
Adapun proses-proses yang terjadi dalam sistem pengolahan air limbah dengan memanfaatkan tanaman air dengan sistem wetland, menurut Novonty dan Olem, 1994 dikutip oleh Fitriarini, 2002, ialah:
a.        Proses Fisika dengan mekanisme removal sedimentasi dan filtrasi.
b.        Proses Fisika dan Kimia dengan mekanisme removal adsorpsi dan presipitasi fosfor dan logam berat.
c.         Proses Biokimiawi dengan mekanisme removal: Penurunan bahan organik, Nitrifikasi, Denitrifikasi, Dekomposisi anaerobik, Penyerapan tumbuhan air.

3.     Faktor Desain Wetland
Menurut Crites & Tchobanoglous (1998) dalam Dhokhikah, 2006 hal-hal yang perlu diperhatikan dalam desain reaktor Wetland :
a.      Waktu Detensi Penyisihan Bahan Pencemar
b.      Organic Loading Rate
c.      Luas Permukaan Yang dibutuhkan
d.      Aspek Ratio dan Desain Hidrolik

E.     Faktor  Yang Mempengaruhi Sistem Wetland
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengolahan air limbah dengan sistem wetland menurut Wood, 1990 dalam Kurniawan, 2005, adalah:
1.   Tanaman/ Vegetasi
Tanaman/ vegetasi dalam sistem Wetland mengambil peranan penting karena memiliki beberapa fungsi sebagai berikut (Wood, 1990 dalam Prasetyaningtyas, 2003) :
a.        Menyediakan kebutuhan oksigen bagi akar dan daerah perakaran dengan proses fotosintesa, yang digunakan untuk pertanaman biologis bagi mikroorganisme yang berada di zona akar. Dalam hal ini, tanaman memiliki kemampuan memompa udara melalui sistem akar.
b.        Menjadi komponen penting dalam proses transformasi nutrien yang berlangsung secara fisik dan kimia mendukung proses pengendapan terhadap partikel tersuspensi.
c.        Proses kematian pada akar disertai pelepasan bahan organik yang mendukung proses denitrifikasi.
d.        Sebagai media tumbuh mikroorganisme.
e.        Mendukung proses filtrasi bahan solid.
Dalam sistem pengolahan air limbah skala kecil, misalnya rumah tangga, makrophyta dapat memberikan peran lebih. Peranan makrofita dalam sistem pengolahan wetland dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1
Peranan Makrofita Dalam Sistem Pengolahan Wetland
Bagian Makrofita
Peranan di Dalam Pengolahan
Jaringan tumbuhan aerial
§     Mengurangi kecepatan angin sehingga dapat menurunkan resuspensi
§     Penyimpanan nutrien
Jaringan tumbuhan dalam air
§     Efek filtrasi
§     Mengurangi kecepatan arus air dan meningkatkan proses sedimentasi
§     Menyediakan area untuk attached biofilm
§     Pengambilan nutrien
Akar dan rizhoma
§     Menciptakan permukaan sedimentasi
§     Mencegah terjadinya clogging
§     Pengambilan nutrien
§     Pelepasan oksigen
 (Sumber: Fitriarini, 2002)

Beberapa tanaman yang banyak digunakan untuk wetland adalah Cattail (Thypa sp), Reed (phragmites sp) dan tanaman rumput-rumputan lain. Sedangkan tanaman yang dapat digunakan untuk wetland yang berfungsi sebagai wastewater garden diantaranya Kana, Papirus, Heliconia dan beberapa tanaman lain yang mampu hidup pada lahan jenuh. Berdasarkan pola hidupnya tumbuhan air dapat dibedakan menjadi empat tipe, yaitu :
a.      EmergentType, yaitu tanaman air ini hidup pada bagian tepi suatu perairan. Hidup di bagian perairan yang dangkal sampai tidak tergenang air. Yang termasuk kelompok ini adalah Thypa latifolia, Canna flaccida, Scirpus validas dan Iris pseudacorus.
b.     Floating type, adalah jenis tanaman yang mempunyai pola hidup terapung dipermukaan perairan dengan posisi akar melayang/menggantung, contohnya adalah eceng gondok, Azolla, duckwed dan kayu apu.
c.      Submerged Type, adalah tumbuhan yang hidup di dalam perairan dengan seluruh tubuh terendam air dengan akar menyentuh dasar perairan dan sebagian lainnya melayang.
d.      Deep Aquatic Type, yaitu tanaman ini hidup didasar dengan akar tanaman kuat pada bagian dasar perairan tersebut. Batang tanaman ini tegak menyangga bunga dan daun muncul di permukaan perairan.

2.   Media Tumbuh (Substrat)
Media pada wetland berfungsi sebagai tempat tumbuh tanaman dan sebagai tempat hidup mikroorganisme pengurai, serta sebagai tempat berlangsungnya proses sedimentasi dan filtrasi bahan polutan (Prasetyaningtyas, 2003). Sedangkan Media tumbuh dalam sistem SSF (Sub-Surface Flow) dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (Metcalf and Edy, 1991) :
a.    Medium sand, media dengan struktur halus karena komposisi butiran lebih sedikit dari pasir, berdiameter antara 0,04-0,11 mm dan lolos ayakan 2-20.
b.    Coarse sand, media dengan struktur komposisi tanah berupa butiran besar dengan kandungan kerikil kurang dari 15% dan pasir lebih dari 85%. Struktur media ini antara medium sand dan gravel dan lolos ayakan 2-20.
c.    Gravelly sand, media ini merupakan kombinasi antara pasir-kerikil dengan prosentase pasir 85% dan kerikil 15%. Tanah mengandung lebih dari 70% pasir, porositas kurang dari 40%.

3.   Mikroorganisme
Jenis mikroorganisme yang diharapkan berkembang adalah heterotropik aerobic. Hal ini dikarenakan penguraian bahan organik dalam tanah basah/ rawa buatan berlangsung secara aerobik dan anaerobik (Vyzamal, 1999 dalam Dhokhikah, 2006). Aktifitas mikroorganisme dalam wetland dapat disamakan dengan aktifitas mikroorganisme dalam pengolahan konvensional (lumpur aktif) dan Trickling filter. Tumbuhan menyediakan media penyangga bagi bakteri pengurai zat organik yang tumbuh melekat. Tumbuhan juga berfungsi menyediakan komponen Lingkungan perairan yang dapat meningkatkan efisiensi pengolahan (Yohanna, 2007).

4.   Temperatur
Temperatur merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kualitas effluent pada sistem ini. Temperatur berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme dalam mengolah air limbah. Menurut Wood, 1990 dalam Kurniawan, 2005 temperatur yang sesuai untuk constructed wetland adalah 200C-300C.

F.     Proses Penyerapan Unsur Hara Oleh Tanaman
Zat hara adalah zat-zat yang diserap oleh tanaman dan diperlukan oleh segala aktivitas tanaman. Unsur hara sangat diperlukan oleh tanaman disebut unsur hara esensial, yaitu unsur hara yang tanpa keberadaannya tumbuhan tidak dapat melengkapi daur hidupnya atau unsur yang merupakan penyusun molekul atau bagian tanaman yang esensial bagi kelangsungan hidupnya.
Tanaman menyerap unsur hara melalui akar atau melalui daun. Unsur C dan O2 diserap tanaman melalui daun dalam psoses fotosintesis. Proses penyerapan unsur hara terjadi dalam bentuk anion dan kation terlarut dalam air.
1.   Proses penyerapan unsur hara melalui akar
Proses penyerapan unsur terjadi jika unsur-unsur tersebut telah berkontak langsung dengan permukaan akar. Sistem perakaran dan percabangan tanaman yang besar meningkatkan kemampuan tanaman untuk mengabsorbsi unsur hara dari tanah (Fouth dalam Pancawardani, 2004). Dalam rawa akar tanaman mampu menembus tanah hingga 30-76 cm (Gresberg et al dalam Khiatuddin, 2003). Semakin dalam jaringan akar menembus tanah maka semakin luas zona rizhosphere tercipta, sehingga mendukung kemampuan mikroorganisme dan purifikasi rawa meningkat (Pancawardani, 2004). Penyerapan unsur hara oleh tanaman melibatkan beberapa proses antara lain (Salisbury dan Ross dalam Kurniawan 2005) :
a.        Pergerakan ion ke permukaan akar
Adanya perbedaan konsentrasi antara media tumbuh dengan keadaan didalam akar mengakibatkan terjadinya pergerakan ion. Pengangkutan ion kepermukaan akar terjadi melalui tiga mekanisme yaitu : (a) difusi melalui larutan tanah, (b) dibawa air secara pasif dalam aliran massa menuju akar serta (c) gerakan akar yang tumbuh mendekati unsur tersebut.
b.       Penimbunan ion dalam akar
Penimbunan sel dalam akar merupakan tahap pertama proses penyerapan unsur hara oleh akar tanaman. Ion yang menempel pada permukaan akar berdifusi masuk kedalam akar melalui dinding sel epidermis menuju membran sel. Proses penyerapan terjadi pada membran sel ini.
c.        Pergerakan ion dari permukaan akar ke dalam pembuluh kayu
Ion yang telah diserap secara aktif dalam sel epidermis dan korteks bagian luar diangkut kedalam melintasi endodermis. Sel endodermis merupakan bagian yang sangat penting bagi tanaman dalam pergerakkan air dan ion. Dinding sel endodermis disisi radial dan melintangnya memiliki penebalan yang disebut pita kapsari serta dapat mencegah air dan ion mengalir kembali keluar. Pergerakan ion dari permukaan akar ke pembuluh kayu tumbuhan melalui tiga jalan yaitu : (1) Pergerakan ion antar vakuola sel yang berfungsi sebagai tempat penampung ion; (2) Pergerakan ion dalam sitoplasma; (3) Pergerakan melalui ruang bebas dari dinding sel dan kombinaasi ketiganya.
d.        Pengangkutan ion dari akar menuju batang dan daun
Pengangkutan ion-ion dalam cairan tumbuhan pada batang terjadi melalui xylem dan floem. Air yang mengandung ion akan naik dari xylem pada akar, xylem batang kemudian tulang-tulang-tulang daun. Proses pergerakan ini adalah pergerakan pasif melalui membran sehingga diperlukan daya dorong untuk mencapai keseimbangan pada kedua sisi membran. Karena tanaman menyerap unsur hara dalam bentuk ion maka bahan organik dan nutrien dalam wetland harus mengalami penguraian sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. (USEPA, 1993) .
Terdapat hubungan saling ketergantungan antara mikroorganisme pengurai dengan tanaman pada wetland. Kelarutan unsur hara yang diserap tanaman sangat tergantung pada kegiatan mikroba disekitar akar (rizhosphere). Akar yang berlubang-lubang mengeluarkan sejumlah zat organik yang merupakan makanan bagi mikroorganisme dan menyebabkan aktivitas biologi kuat. Dengan adanya peningkatan aktifitas biologis berarti penguraian bahan organik dan nutrient menjadi ion yang diserap tanaman juga meningkat.

2.   Melalui fotosintesis
Pada hakekatnya, semua kehidupan diatas bumi ini sangat tergantung dari proses asimilasi CO2 menjadi senyawa kimia organik dengan energi yang didapat dari sinar matahari. Dalam proses ini energi sinar matahari (energi foton) ditangkap dan diubah menjadi energi kimia dengan proses yang disebut fotosintesis. Energi matahari yang ditangkap oleh proses fotosintesis merupakan lebih dari 90% sumber energi yang dipakai oleh manusia untuk pemanasan, cahaya dan tenaga (Kusumah, 2005)
Fotosintesis merupakan suatu sifat fisiologi yang dimiliki oleh tumbuhan. Fotosintesis adalah penggunaan energi matahari oleh klorofil dari tumbuhan hijau untuk menggabungkan karbondioksida, air, dan senyawa anorganik lainnya untuk menjadi sel baru. Proses ini sering disebut asimilasi zat karbon. Pada waktu proses fotosintesis berlangsung, molekul-molekul air diambil dari media tumbuhnya. Molekul-molekul air, karbondioksida diambil dari udara atau dari dalam air dalam bentuk karbondioksida terlarut. Oleh kloroplas tumbuhan, atom C, H dan O dari zat-zat tersebut diubah menjadi senyawa hidrat arang (gula atau pati).
Sebagai hasil tambahan dari proses fotosintesis, tumbuhan mengeluarkan kelebihan oksigen ke udara dan perairan sehingga dapat dimanfaatkan oleh organisme air. Sedangkan gula yang dihasilkan dari fotosintesis merupakan bahan bakar dalam proses fotosintesis ini, diperlukan adanya cahaya matahari. Besarnya energi yang diberikan oleh cahaya tergantung dari intensitas cahaya (banyaknya sinar per cm2 per detik) dan waktu penyinaran. Proses fotosintesis ini tidak dapat berjalan pada suhu kurang dari 50C. Laju fotosintesis akan tinggi bila intensitas cahaya tinggi dan akan menurun bila intensitas cahaya berkurang. Oleh karena itu cahaya berperan sebagai faktor pembatas utama dalam fotosintesis atau produktivitas primer (Sudjadi, 2005 dalam Yohanna, 2007).

G.       Mekanisme Penyisihan Polutan dalam Wetland
Menurut Campbell & Ogden, 1999 dalam Kurniawan, 2005 pada dasarnya kandungan organik tidak hilang pada sistem rawa buatan ini, melainkan mengalami peristiwa sebagai berikut  berikut : (1) Dikonversikan ke plant material; (2) Dikembalikan ke atmosfer; (3) Terendapkan ke dasar wetland; (4) Dikeluarkan ke aliran air downstream
Sebagai contoh removal fisik dari COD dipercaya terjadi melalui proses pengendapan dan penangkapan material partikulat di ruang hampa pada gravel atau media batuan. COD terlarut diremovel oleh pertamanan mikroba pada permukaan media dan menempel pada akar tanaman dan penetrasi rhizome pada bed (EPA, 1993). Kira-kira sebesar 80% total COD dihilangkan melalui pengendapan pertama dan 60%-65% COD yang dihilangkan tersebut adalah dalam bentuk solid (Benefield & Randall, 1980 dalam Kurniawan, 2005).
COD yang berhubungan dengan zat yang terendapkan (setteable solids) di dalam air buangan dihilangkan oleh proses sedimentasi. COD terlarut dan dalam bentuk koloid yang masih tersisa dalam larutan dapat dihilangkan sebagai hasil dari proses aktifitas metabolisme dan interaksi kimia fisik didalam zona perakaran/matrik substrat (Wood, 1990 dalam Fitriarini, 2002). Media ini berfungsi sebagai penunjang struktur bakteri seperti halnya mengganti sistem aerator mekanik dalam mentransfer oksigen didalam sistem pengolahan air buangan. Proses penurunan kandungan COD pada sistem tanah basah/ lahan basah/ rawa buatan akan semakin baik bila digunakan media dengan ukuran partikel yang lebih kecil (Schulz, 2003 dalam Fitriarini, 2002).
Begitu juga dengan senyawa organiknya lainnya dapat dipecah untuk dikonsumsi bagi mikroorganisme dalam sistem wetland. Biodegredasi ini menghilangkan senyawa organik dari air seperti menyediakan energi untuk mikroorganisme (Lorion, 2001 dalam Fitriarini, 2002). Tingkat kemampuan biodegradasi dari berbagai macam substansi organik tergantung dari kemampuan degradasi relatif dari material, temperatur, konsentrasi oksigen, pH, pengadaan nutrien, konsentrasi substrat dan adanya senyawa toksin yang potensial (Cooper, 1990 dalam Fitriarini, 2002).
Sistem wetland ini relatif toleran terhadap berbagai tingkat konsentrasi bahan pencemar yang masuk kedalam sistem (Khiatuddin, 2003). Perakaran tanaman yang tumbuh menyebar kesemua arah pada permukaan tanah (Fitriarini, 2002) dapat memberikan lebih banyak tempat hidup bagi bakteri.
Zona aerob terjadi sekitar akar dari rizhoma yang mengurangi oksigen menjadi substrat. Oksigen yang dibutuhkan untuk degradasi disuplai langsung dari atmosfer dengan disfusi atau pengurangan oksigen dari akar makrofita dan rizhoma pada rhizophere. Senyawa organik didegradasi secara aerob seperti halnya secara anaerob oleh bakteri yang menempel pada bagian bawah tanaman (akar dan rizhoma) dan permukaan media (Vyzamal, 2003 dalam Fitriarini, 2002). Pertumbuhan optimum tanaman terjadi pada tanah yang subur, aerasi dan drainasenya baik atau tidak cukup menggenang, banyak mangandung bahan organik serta cukup tersedia unsur hara (Fitriarini, 2002).
Disamping itu, penurunan Total Suspended Solid dalam wetland terjadi melalui proses fisik yaitu sedimentasi dan filtrasi. Proses sedimentasi terjadi dikarenakan air limbah harus melewati jaringan akar tanaman yang cukup panjang sehingga partikel-partikel yang melewati media dan zona akar dapat mengendap. Dengan waktu detensi yang lebih panjang maka padatan mempunyai kesempatan lebih besar mengendap. Penghilangan padatan dengan filtrasi terjadi karena air limbah melewati media yang berpori sehingga padatan tertahan dalam pori-pori media. Struktur akar tanaman, misalnya Phragmites juga menyediakan jalur infiltrasi melalui lapisan atas media sehingga memastikan bahwa permukaan media filter tidak mengalami clogging (Wood, 1990, dalam Widyastuti, 2005).
Untuk padatan koloidal dan tidak dapat mengendap removal terjadi melalui beberapa  mekanisme. Padatan koloidal menjadi foci bagi pertumbuhan bakteri selama waktu tinggal padatan tersebut akan mengendap dan sebagian yang lain diuraikan oleh mikroba. Removal padatan koloidal yang terjadi sebagai hasil penggabungan (gerak inersia dan brown) yang menghasilkan adsorpsi dengan padatan lain misalnya pada tanaman, dasar kolam dan padatan tersuspensi (Polsprasert, 1989 dalam Widyastuti, 2005). Kekeruhan disebabkan oleh adanya padatan tersuspensi dan padatan koloidal dalam air limbah, oleh karena itu removal kekeruhan terjadi melalui mekanisme yang sama dengan removel padatan tersuspensi dan padatan koloid.

H.      KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1.   Kesimpulan
a.   Teknologi wetland adalah teknologi yang tepat untuk dipilih sebagai satu diantara teknologi pengolahan air limbah domestik perkotaan yang mampu menciptakan lingkungan kota yang sehat dan  ramah lingkungan / berkelanjutan.
b.   Teknologi wetland terbukti  effektif dan efisien  menurunkan bahan-bahan pollutan/ pencemar yang terkandung dalam air limbah domestik.
c.    Aplikasi teknologi wetland untuk  pengolahan air limbah domestik perkotaan ternyata cukup  ‘simple and apropriate’ untuk masyarakat berpengetahuan dan ketrampilan rendah karena teknologi ini cukup  sederhana, mudah  dan murah serta terjangkau dalam sistem pengoperasian dan perawatannya.
d.   Teknologi wetland terbukti memberikan nilai tambah (added value) baik dari aspek estetika maupun sosial ekonomi sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2.   Rekomendasi
a.     Diperlukan gerakan sosial secara kelembagaan yang dimulai dari level terendah seperti RT, RW dan seterusnya dalam mendorong aplikasi sistem wetland dalam pengolahan air limbah domestiknya.
b.     Sebaiknya dilakukan percontohan pengolahan air  limbah domestik institusional dengan sistem wetland untuk memberikan contoh kepada masyarakat sekitarnya.
c.      Untuk lebih memberikan nilai tambah (added value) pada masyarakat sebaiknya vegetasi/ tanaman yang ditanam dipilih tanaman yang produktif dan bernilai ekonomis tinggi.
d.     Mari kita mulai  diri kita sendiri dan dari hal-hal yang dianggap kecil yang berdampak besar terhadap kota yang sehat dan berkelanjutan.

Oleh:
Imam Khambali 
Peneliti / Dosen Pada Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Surabaya Kemenkes R.I. 
Koordinator Bidang Pengembangan Keprofesian dan PPM Pengurus Daerah  Himpunan  Ahli  Kesehatan Lingkungan (HAKLI) Provinsi Jawa Timur.
Suryono, ST, S.Sos, MM
Ketua Hakli Kab. Bondowoso
Dinas Kesehatan Kab. Bondowoso

    1 komentar: